Apa landasan hukum wakaf uang baik di Al Qur’an, Al Hadist, maupun di dalam hukum positif di Indonesia?
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (Lihat, UU No. 41 Tahun 2004).
Wakaf uang adalah wakaf berupa uang yang dapat dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf alaih. (Lihat, Peraturan BWI No. 1 Tahun 2009, pasal 1.3).
landasan hukum Al-Quran mengenai wakaf uang
Firman Allah SWT: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Lihat, QS. Al- Imron [3]:92). Firman Allah SWT: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai ada seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pem-beriannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Lihat, QS. Al-Baqarah [2].261-262).
landasan hukum Hadist Nabi mengenai wakaf uang
Hadist Nabis s.a.w: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r:a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal, yaitu kecuali dari sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya”. (Lihat, H.R. Muslim, al Tirmidzi, al-Nasa’ i, dan Abu Daud).
Hadist Nabi s.a.w.: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Umar bin al Khathab r. a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah.’ Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta Yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah Engkau (kepadaku) menge-nainya? “Nabi s.a.w menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya. “Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekah-kan (hasil)-nya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.” Rawi berkata, “Saya menceritakan hadist tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata ‘ghaira muta’tstsilin malan’ (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik)”. (Lihat, H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tarmidzi, dan al Nasa’i).
landasan hukum positif wakaf uang di Indonesia
- Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf;
- Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf;
- Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 2009 Tentang Administrasi Wakaf Uang;
- Keputusan Menteri Agama No. 92-96 Tentang Penetapan 5 LKS menjadi LKS PWU;
- Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. DJ.II/420 Tahun 2009 tentang Model, Bentuk dan Spesifikasi Formulir Wakaf Uang;
- Peraturan Badan Wakaf Indonesia No. 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang.